Merayakan pulang
Pulang ke rumah setelah bekerja di perantauan barangkali adalah bentuk lain kemewahan. Tapi tidak semua orang punya kemewahan untuk bisa menghadapi keluarga besar. Tiap lebaran, juga setiap kepulangan yang lain, selalu membawa kita pada kondisi yang sama. Bertemu dengan kawan lama atau sahabat lama yang kondisinya bisa jadi lebih baik dari kita.
Di Jakarta ketika Idul Fitri membuat kota ini menjadi demikian manusiawi, jalanan menjadi lengang, udara sedikit lebih baik, kebisingan berkurang, dan tentu saja menjadi sedikit lebih sepi.
Tapi hey, kesepian dan kesunyian adalah dua komoditas penting di Jakarta. Menjadi sepi dan sunyi barangkali adalah kemewahan yang tidak bisa terjadi di jakarta, dan kamu bisa mendapatkan itu ketika lebaran tiba, ketika para perantau pulang ke rumah masing-masing, ketika para pengadu nasib memutuskan untuk kembali ke kampung halaman.
Tentu kesepian itu mengerikan. Sendiri di Jakarta tanpa ada keluarga, tanpa makanan berlemak khas lebaran di atas meja, tanpa ritual sungkeman, apalagi sampai harus bekerja.
Lebaran di kampung bisa jadi lebih ramai daripada Pekan Raya Jakarta. Saat di mana seluruh keluarga besar datang, kawan-kawan SD, SMP, SMA mampir. Tentu ada yang rindu, tentu ada yang ingin tulus bertemu denganmu karena sekian tahun tak jumpa. Namun, beberapa dari mereka ingin bertemu karena ingin membandingkan kesuksesan, membandingkan nasib, atau bahkan menertawakan kesialan orang lain. Sial!
Pun mereka yang pulang terkadang ingin menunjukan bahwa mereka telah satu derajat lebih kota daripada mereka yang memutuskan tinggal di kampung halaman. Bahwa kota telah membuat mereka menjadi modern, maju, dan bermartabat. Seolah-olah tinggal di kampung halaman zaman akan berhenti, pemikiran mandeg, dan informasi tersendat. Kepongahan yang hinggap di beberapa orang kota yang kena tempeleng gaya hidup urban kekinian biasanya begitu.
Jakarta kehilangan beban ketika lebaran. Gedung-gedung perkantoran menjadi lengang, pasar sepi, dan tiba-tiba kita menjadi jatuh cinta pada kota ini. Kota yang membuatmu berharap agar kelengangan dan kesepian ini abadi. Pembangunan dihentikan dan pohon-pohon menjadi rimbun.
Tapi tentu saja ini mustahil. Jakarta adalah kerakusan itu sendiri. Kota ini menggusur penduduk aslinya hingga ke perbatasan.
Jalanan Sudirman, Kuningan, Gatot Subroto, Tendean, dan seluruh simpul kemacetan Jakarta terurai. Tidak ada lagi umpatan motor, mobil, Metro Mini sialan, dan sejenisnya. Para pengendara bernyanyi riang mengikuti irama radio, beberapa bersiul-siul, pengendara roda dua menjadi berakal, angkutan umum tidak lagi penuh sesak dengan penumpang. Sebuah tujuan yang telah berpuluh tahun ingin dicapai berbagai gubernur hanya bisa tercapai ketika lebaran.
Malam lebaran di Jakarta petasan bertebaran seolah menjadi alat komunikasi. Kampung-kampung beradu ledakan, warna-warni kembang api menghadirkan imaji bahwa kota ini masih sedikit waras. Penduduknya bergembira, kampung-kampung menjadi hidup
Hari Raya di Jakarta adalah penanda bahwa orang Betawi masih ada, mereka masih hidup, bertahan, dan tetap menjaga tradisi mereka. Memanusiakan manusia, memuliakan tamu, dan menghargai saudara.
Pernahkah kamu merayakan lebaran bersama orang-orang Betawi di Jakarta? Keramahan mereka, ketulusan mereka, juga tawaran yang tak mungkin kamu tolak untuk menikmati hidangan yang mereka buat? Walaupun aku tidak yakin soal ini. Haha
Jakarta ketika lebaran adalah sebuah pemandangan yang lain, yang membuat kamu akan merasa bahwa, “Ah, ibu kota tidak membuat manusia menjadi kejam”. Ibu kota masih menyediakan manusia-manusia tulus yang mau menerima tamu, yang mau memuliakan mereka yang ditinggalkan dan sendirian.
Sendiri ketika Hari Raya di Jakarta membuatmu berpikir lebih banyak dan lebih panjang. Kesepian mengajarkanmu untuk menghargai kebersamaan. Sementara kesunyian membuatmu belajar memuliakan pertemuan. Kota ini demikian kejam pada mereka yang lemah hati, namun pada saat yang sama mengajarkan kita tentang pentingnya menjadi manusia yang sadar diri.
Kamu bisa saja pura-pura optimis dengan menuliskan sebuah artikel tentang betapa repotnya perayaan lebaran di kampung halaman, padahal jauh di dalam hatimu, kamu berharap bisa pulang untuk merayakan lebaran bersama orang yang kamu sayang kan ?
Aku rasa aku sedang berpura-pura, ingin pulang rasanya.
Jakarta, saat suara petasan dan takbir bergantian
~Thmdamayanti
Comments
Post a Comment